Ada yang Berujar Tak Sadar, “Subhanallah”
Judul Kumcer : Flamboyan Senja
Penulis : Aliya Nurlela
Jumlah halaman : 139 halaman
Jenis Cover : Biasa
Harga : Rp 38.000
ISBN : 978-602-17143-5-5
Penerbit : FAM Publishing
Siapa yang tidak tahu kata “dream” ? Semua manusia normal di
dunia pasti tahu arti dan makna “dream”. Orang Indonesia menyebutnya
dengan istilah “harapan”, “impian”, “rindu”, atau kadang- kadang dibentuk
menjadi sebuah kalimat, misalnya “sesekali bersila, sesekali bertekuk lutut”.
Kalimat impian inilah yang mengawali cerita yang akan dijadikan sebagai tema
dalam kumpulan cerpen
yang dipilih oleh penulis, Aliya Nurlela: keinginan untuk berubah menjadi wanita yang seutuhnya, tetapi sering ditepis oleh kebimbangan sifat labil masa itu, dahulu. Penulis meledakkan makna “dream” di awal cerita, disandingkan dengan kisah nyata—mungkin pribadi—dengan alur yang fiktif.
yang dipilih oleh penulis, Aliya Nurlela: keinginan untuk berubah menjadi wanita yang seutuhnya, tetapi sering ditepis oleh kebimbangan sifat labil masa itu, dahulu. Penulis meledakkan makna “dream” di awal cerita, disandingkan dengan kisah nyata—mungkin pribadi—dengan alur yang fiktif.
Kumpulan cerpen yang dikarang oleh Aliya Nurlela membungkus cerita dengan
kantung Islamik. Dari awal hingga akhir cerita, kumpulan cerpen
Flamboyan Senja dihiasi dengan senandung kata mutiara dan untaian asma Allah
SWT. Begitu juga dengan konsep penulisan yang
diterapkan oleh penulis, yaitu “cerita yang ‘bernilai’ haruslah selalu diingat,
karena akan menjadi pedoman hidup”. Pada akhir cerita, penulis secara gamblang
memberikan nilai- nilai moral dan Islamik—sangat eksplosif—yang ditulis dengan
runtut berdasarkan cerita yang telah dipaparkan sebelumnya.
***
Ada yang berujar tak sadar, “Subhanallah.” Ada pula yang mengucap
syukur lega, “Alhamdulillah, akhirnya...” Namun tak sedikit yang mencibir dan
meragukan kostum yang membalut tubuhku akan bertahan kukenakan (Halaman 10). Dari
potongan paragraf awal cerita, Flamboyan
Senja, cerpen ini
menjelaskan betapa kerasnya cobaan yang dihadapi oleh tokoh utama untuk
mempertahankan dan memperjuangkan impiannya menjadi muslimah sejati. Dalam
cerpen ini, penulis memilih pohon Flamboyan sebagai sandingan tokoh utama yang
berjuang untuk menghentikan jalan hidupnya di dunia teater, sehingga cerita
terkesan dramatis.
Geu Saram, judul cerpen bagian ke dua. Cerpen ini memiliki hubungan
yang erat dengan cerpen Flamboyan Senja atau dapat dikatakan Geu Saram adalah
kelanjutan dari Flamboyan Senja. Pada halaman 30 menegaskan, “Kamu sudah
memiliki segalanya. Popularitas, kesempatan dan uang. Bukankah banyak gadis
cantik yang berlomba- lomba meraih posisi sepertimu?! ...” Dalam kutipan
cerpen Geu Saram ini, penulis menambahkan konflik cerpen pembuka, yaitu rintangan yang
dihadapi oleh tokoh untuk tetap berada di jalan yang dipilihnya dan sejalan
dengan keluarganya, menjadi muslimah sejati dan meninggalkan karier sebagai
pemain teater. Geu Saram juga mendukung jawaban permasalahan cerita Flamboyan
Senja, (halaman 32) “... Kalian tahu, penulis Zahda Amir? ...” Aliya Nurlela
mengangkat penulis Zahda Amir sebagai pembanding dengan sutradara Joe yang
menganut paham berkarya sebebas- bebasnya atau seni adalah santapan hiburan
yang menyegarkan. Penulis Flamboyan Senja terus- menerus mendeskripsikan sosok
Zahda Amir sebagai tokoh idola cerita. (Halaman 40) “ ‘Ayo segera bangun, kita pergi
dari sini.’ Sebuah suara pelan mengagetkanku. Itu bukan suara sutradara Joe
apalagi keempat lelaki kekar itu...” Secara fisik cerita, tokoh diselamatkan
oleh seorang laki- laki tak dikenal, dan pada detik- detik terakhir cerita,
ternyata lelaki itu adalah Zahda Amir yang terkenal dengan tulisan santunnya.
Di sini, penulis sangat mahir membalik cerita fakta menjadi fiktif: mungkin,
inilah jawaban yang mendukung mengapa tokoh mulai meninggalkan kariernya
sebagai pemain teater yang juga dipaparkan dalam cerpen pertama.
Tidak hanya penulis Zahda Amir yang diangkat
oleh penulis kumpulan cerpen Flamboyan Senja, Aliya Nurlela, tetapi juga
penulis Khalil Gibran muncul pada halaman 115, “... Kubaca ulang. Ah, mengapa
tidak sehebat untaian kalimat Khalil Gibran? ...” Penulis menyinggung gaya bahasa
dan pola menulis sang pujangga yang terkenal dengan ukiran kalimat indah. Dalam
kutipan cerpen tersebut, penulis sepertinya fokus pada harapan tokoh
cerita untuk menulis yang indah, setidaknya mendekati keindahan karya Khalil
Gibran dan diselingi dengan kalimat yang santun. Sedangkan faktanya, gaya menulis
Khalil Gibran sudah tertanam di cerpen bagian akhir, Kelopak Flamboyan Itu
Bertasbih.
Penulis Flamboyan Senja tetap berpedoman pada
kata “dream”, seperti cerpen ke tiga, ‘Impian yang Terhapus’ yang merupakan
sisa dari cerita sebelumnya, bahwa tokoh aku pada cerpen sebelumnya memiliki
mimpi menjadi orang terkenal namun pada akhirnya terlepas, terhempas hingga di
cerpen ‘Impian yang Terhapus’. Sedangkan, cerpen yang lain, penulis tetap fokus
pada tema yang dibulatkan—harapan—impian—rindu—ingin memiliki cinta—dalam ruang
cerita cinta, keluarga, kemiskinan, dan ketergantungan dengan orang lain.
Kumpulan cerpen ini cocok dibaca oleh semua kalangan,
terutama usia labil atau 12 tahun
ke atas. Kumpulan cerpen ini juga menyuguhkan cerita yang bervariasi, fokus dengan
tema “dream”, dan mengulas ulang semua pesan cerita yang ingin
disampaikan di bagian akhir cerpen “Kelopak Flamboyan Itu Bertasbih”, sehingga
pembaca yang berusia labil dapat lebih paham apa makna cerita yang telah dibaca
sebelumnya.
Kata “santun”. Dalam kumpulen cerpen Flamboyan
Senja, kata tersebut dapat menjadi karakteristik kepenulisan dari penulis Aliya
Nurlela. Kata ini selalu dilibatkan dengan karakter dan pesan baik cerita yang
disampaikannya.
Cerita yang dipaparkan penulis sangat dramatis
dan fiktif, terutama cerpen pertama dan ke dua, sehingga secara tidak sengaja
pembaca akan sulit menilai dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata, bahwa
impian dan sukses hanya bisa terwujud dengan mudah di dalam cerita- cerita fiktif. Seharusnya, penulis tidak perlu menceritakan sebuah kisah terlalu
dramatis atau fiktif, apalagi tema cerita “dream” atau “impian” yang biasanya
menjadi cerita inspirasi dan motivasi pembaca.
Cerita dengan tema “dream” akan lebih mengena ke pembaca bila dipaparkan dengan
tidak terlalu dramatis atau fiktif.
Mari mengukir impian (halaman 133).
***
Biodata singkat peresensi:
Nama : Robi Andika
Amsar
No ID : FAM1010M
Posting Komentar
Mohon gunakan kalimat yang santun untuk memberikan komentar. Komentar yang dianggap propokator akan dihapus.